PANGERAN JAS HUJAN
By. Justang Zealotous

Rupaku bukan bidadari
Aku tak manis, tak juga rupawan
Aku tak menawan, cuma hati seputih awan
Gayaku bukan permaisuri, cuma cinta selalu tulus

Sajak itu selalu terukir dalam coretan hati. Terkadang tersimpul dalam secarik kertas. Berharap suatu hari nanti, akan ada seorang pangeran yang entah siapa kan membacanya dan paham tentang aku. Paham tentang perasaanku. Paham tentang adanya cinta yang selalu tulus untuk sang idaman.

Namaku Tina. Pengalamanku tentang cinta, bisa dikatakan sangat langka. Terlahir dengan wajah tak karuan begini, siapa mau? Meski yakin, Tuhan telah menyiapkan sosok yang pantas untukku.

Gadis kacamata. Rambut kepang. Riasan tebal. Mulut yang menjorok ke depan. Rahang yang moncong. Hidung yang setengah habis. Hantu sendiri bahkan muak jika melihatku. Ingin operasi plastik, biaya super mahal. Menghabiskan hartaku tujuh turunan. Tuhan pernah bilang, manusia diciptakan berpasangan-pasangan. Apa iya, aku punya pasangan juga?

Pertanyaan yang membuatku sempat putus asa itu memang selalu membelenggu hidupku. Namun, untungnya ada sesosok pria di kampus yang selalu buat hatiku berbunga. Dia Henry. Cowok tampan, tinggi, kulit putih bersih, rapi,fashionable dan dengan tubuh atletisnya yang selalu kupandangi dari jauh. Mana berani aku mendekatinya. Aku sadar diri. Dia pangeran sedangkan aku hanyalah budaknya bawahan.

Jujur. Henry yang sering kujuluki sebagai pangeran kampus itu memang menjadi inspirasi terbesarku. Demi dia, aku rela berubah jadi lebih cantik agar bisa dilirik. Tiap hari perawatan. Tapi, sepertinya takdir tidak bisa dibohongi. Henry masih saja ogah melirikku. Meski hasil perawatan itu memang hanya mengubah dari terlalu jelek menjadi agak jelek. Setidaknya, menatapku bukan hal menjijikkan untuknya, bukan?

***

Seperti biasa di kampus, aku menjadi makhluk terasing. Segitu burukkah diriku hingga terkesan buangan. Tapi, tak masalah. Dedikasiku dalam pendidikan dan sosok Henry membuatku tetap bertahan. Dia sungguh hadiah terindah dari Tuhan untukku. Meskipun hadiahnya hanya terbungkus dan terpajang di etalase kaca.

Aku berjalan sendirian. Sangat tergesa-gesa karena hari ini harus mengikuti ujian praktikum. Tuhan memang adil, walau aku dikaruniai wajah yang tak maksimal tapi otakku masih brilian. Aku tak mungkin melewatkan ujian begitu saja.

Brak! Langkah yang memburu terhenti saat menabrak seseorang. Buku-buku yang kubawa berjatuhan. Sebelum kupungut semua, kutatap orang yang kutabrak. Aku terperanjat. Rupanya orang itu Henry. Tubuhnya sangat dekat denganku, bahkan kulitnya yang mulus sempat menyentuhku. Aku pasti akan selalu ingat momen ini.

Aku tersenyum. Dia cemberut. Lalu, kugerakkan bibirku yang kaku perlahan, “Ma-af!”

Dia tak menjawab. Tampaknya sangat kesal karena kacamata yang dikenakannya terjatuh dan pecah karena saat melangkah, aku tak sengaja menginjaknya.. Wajahnya pun memerah dan siap merutuk tapi aku menunduk dan segera mengambil kacamata itu untuknya. Belum sempat kuserahkan, dia telah melangkah pergi tanpa menoleh. Kacamata itu pun kusisipkan ke saku.

Wajar dia bertindak begitu karena sepenuhnya salahku. Aku telah merusak kacamatanya. Aku sungguh merasa bersalah. Ingin rasanya minta maaf walau tak cukup berani. Aku tak mau buat dia kesal karena kebodohanku.

Kutarik napas pelan-pelan, lalu memungut buku-buku yang sedari tadi berserakan di tanah. Kemudian melanjutkan langkahku. Aku tak mau terlambat dan mendapat penyesalan dua kali hari ini.

***

Ujian praktikum selesai. Sementara kurapikan meja, mataku tiba-tiba berpaling ke kaca bening di laboratorium, di sana ada Henry sedang berjalan. Jantungku berdegup. Sejauh ini saja dia mampu membuat terlena, bagaimana kalau dekat. Aku harus segera membereskan semuanya sebelum terlambat. Aku ingin minta maaf. Harus. Ini kesalahanku.

Kuambil tas merah di atas kursi dan menggantungnya ke pundak. Lalu mengambil langkah cepat menuju ke luar. Saat di bahu pintu, kutatap sekeliling. Rupanya dia sudah ada di ujung koridor, selangkah lagi langkahnya akan menghilang.

Aku tak akan kehilangannya kali ini, kata maaf itu harus terucap. Entah dia terima atau tidak, yang jelas tidak menyimpan beban. Kukejar dia dengan langkah seribu, sesekali juga kuteriakkan namanya agar dia memalingkan wajah dan menyadari panggilanku.

Rupanya semua sia-sia, napasku yang sudah sengal-sengal tak berhasil menggapainya. Dia lebih dahulu menaiki mobil sporty merah miliknya dan melaju kencang. Aku mengatur napas kembali dan meraih kacamatanya di saku. Aku pasti bisa minta maaf padamu. Batinku.

Aku memang sudah terlambat hari ini. Tapi, aku tetap yakin niatku yang baik untuk minta maaf akan segera membawaku padanya, cepat atau lambat. Kumasukkan kembali kacamata itu ke saku. Satu-satunya benda miliknya yang kini di tanganku. Sungguh bahagia.

Masih mau baca kelanjutannya? Silahkan klik => http://justangzealotous.blogspot.com/